Wednesday, April 18, 2007

Sastra dan Kepemimpinan Kita
Oleh : Agus Wibowo *
”Pemimpin kita yang duduk di pemerintahan maupun tokoh agama, kurang memahami sastra. Tak heran jika nuansa kepemimpinan cenderung keras dan kasar” demikian komentar Cak Nun (Emha Ainun Najib) dalam acara ”pengajian padang rembulan” di Kasihan, Bantul, Rabu malam (16/2007). Selain Cak Nun, hadir pula beberapa sastrawan seperti; Satmoko, Imam Budi Santoso, Mustofa W. Hasim dan lain-lain. Ada persoalan menarik dari yang komentar Cak Nun; Pertama hubungan dunia sastra dengan dunia kepemimpinan dan kedua, persoalan gagalnya pengajaran sastra.Di Amerika, beberapa presiden yang pernah berkuasa adalah penulis puisi, penyair atau setidaknya apresiator sastra ulung. Misalnya mantan presiden Abraham Licoln yang dijuluki ”sang penyair ulung”. lantaran persahabatannya dengan penyair Walt Whitman, sentuhan puitis memberi pesona anti perbudakan dan semangat demokrasi selama kepemimpinannya. Kecintaan pada dunia sastra juga diteruskan oleh presiden Bush, Bill Clinton dan mantan Menhan Donal Rumsfeld. Di sela-sela tugas kenegaraan, mereka masih menyisakan waktu untuk menulis puisi. Kita juga masih ingat pidato-pidato presiden Ronal Raegan semasa hidupnya, yang penuh dengan ungkapan puitis. Gambara tersebut menunjukkan betapa negara Amerika (dan barat khususnya) sebagai negara adidaya dan unggul di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), memposisikan sastra begitu agung, penting dan terhormat layaknya ilmu matematika.Lalu bagaiman dengan negara kita ? Belum pernah tercatat dalam sejarah negara kita dipimpin seorang penulis puisi, penyair, sastrawan atau setidaknya apresiator karya sastra. Negara kita masih sering dipimpin oleh kaum militer yang terbiasa mengelus bedil, membaca strategi perang, membunuh atau mengalahkan musuh. Sedikit beruntung presiden pertama (Sukarno) adalah penikmat apresiator sastra yang baik, dan setidaknya hal itu telah memberi warna pada pe-merintahannya. Negara perlu sentuhan puisi, setiap pemimpin perlu menyisakan ruang batinnya untuk diisi puis-puisi atau karya sastra lainnya. Kepemimpinan pasca modern perlu menyadari, kepemimpinan dan kekuasaan perlu aspek puitis (AA Nugroho, 2004).Dahulu, seorang penyair (sastrawan) dipandang sebagai pujangga dan penasehat raja. Boleh jadi karena sang pujangga lebih arif memaknai persoalan lewat kehalusan sastra yang berujung pada, visioner yang tajam dan kepekaan sosial yang luar biasa (linuweh) tidak ditangkap oleh orang awam. Istilah weruh sak durunge winarah atau mengetahui apa-apa sebelum terjadi, pada dasarnya karena sentuhan kehalusan dunia sastra yang dimiliki sang pujangga, bukan karena ilmu gaib atau klenik. Kini, orang takut memberi gelar kepunjaggaan bagi sastrawan kita setelah mangkatnya pujangga Ronggo Warsito. Padahal sejatinya semua sastrawan adalah pujangga meski tingkat imaji, visioner dan penghargaan terhadap kejujuran hati nurai mungkin tak sebanding dengan Ronggo Warsito.
Pengajaran Sastra Gagal ?
Opini budaya tentang sastra yang dimuat di berbagai media masa, umumnya menilai pengajaran sastra di sekolah telah gagal. Misalnya apa yang ditulis Handrawan Nadesul (Kompas 23/6/2005). Menurutnya pengajaran di sekolah tidak mewajibkan sastra sebagai bagian kehidupan siswa. Persoalan struktur kalimat, subjek, objek dan predikat terus diulang-ulang.Dalam kurikulum 1994 disebutkan bahwa program pengajaran apresiasi sastra Indonesia bertujuan untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap sastra. Selain itu agar siswa memiliki kepekaan terhadap sastra yang baik dan bermutu yang akhirnya berkeinginan membacanya. Dengan kebiasaan membaca, memahami dan mengapresiasi sastra Indonesia diharapkan siswa mempunyai pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya rasa karsa, terbinanya watak dan kepribadian (Atar Semi dalam Muhardi (Ed.), 1992:22).Pemberlakuannya kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 1994 (suplemen 1999) di sekolah-sekolah diharapkan lebih meningkatkan aparesiasi sastra para siswa. Diharapkan juga dengan kurikulum 1994 ini persoalan-persoalan yang timbul selama ini dalam pembelajaran apresiasi sastra dapat diminimalkan bahkan dihindarkan. Singkatnya, dengan kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 1994 itu diharapkan dapat menjawab kekurangan yang ada pada kurikulum 1984 dan dapat meningkatkan apresiasi sastra para siswa.Pada prakteknya, pengajaran sastra tetap tidak menarik. Bukan hanya cara guru mengajar yang tidak memotivasi siswa, kurang akrabnya siswa dengan karya sastra, tetapi juga kurangnya penguasaan guru pada dunia sastra. Sampai kini Sastra “diomprengkan” pada pengajaran bahasa. Kalau dalam kehidupan sehari-hari pekerjaan omprengan dapat memberikan keuntungan yang lebih besar daripada pekerjaan yang sesungguhnya, tidaklah demikian halnya dengan pengajaran yang dipraktikkan dengan cara mengompreng. Pengajaran merupakan kegiatan dan proses pembinaan dan pengembangan; jika dilaksanakan menurut sistem omprengan, maka proses tersebut mengalami distorsi(Puar, 1989:110)Mungkin berawal dari gagalnya pengajaran sastra di sekolah itu, melahirkan para elit politik pemegang kekuasaan yang tidak memiliki apresiasi pada karya sastra dalam kehidupannya. Mengulang pendapat Guru Besar Alois, bangsa ini perlu dipersatukan dengan lantunan puisi dan apresiasi sastra. Puisi mampu menjiwai setiap langka pemimpin kita, memberinya vitamin rohani menjadikan langkah-langkah politiknya santun dan beradab. Apresiasi sastra memberi ruang imaji, kepekaan sosial dan mampu menangkap persoalan secara jernih dengan mengedepankankan kejujuran hati nurani.Barangkali, tak akan terulang lagi adu mulut dengan kata-kata kasar, atau jatu-menjatuhkan lawan politik dengan bahasa, bila apresiasi bangsa kita pada sastra sudah mendalam. Sebagaiman pendapat Ketua Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara), Dendy Sugono bahwa kehidupan sastra tidak dapat dipisahkan dari penggunaan bahasa masyarakat pendukungnya. Sastra menurutnya memiliki fungsi menumbuhkan rasa kenasionalan dan solidaritas kemanusiaan serta mempengaruhi proses pembentukan kepribadian dan kebangsaan masyarakat pendukungnya. Kemajuan sastra sering digunakan sebagai indikator kemajuan peradaban masyarakat pendukungnya.[]
*) Pemerhati sastra, Tinggal di Yogyakarta

0 Comments: