Wednesday, April 18, 2007

Sekolah dan Pembodohan Peserta Didik
Oleh : Agus Wibowo *
Pendidikan diyakini mampu mengubah pranata sosial, budaya dan politik, bahkan peradaban sebuah bangsa. Dengan kata lain, kemajuan peradaban sebuah bangsa ditentukan sejauh mana pendidikan telah berfungsi. Di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Singapura dan Malaysia, pemerintah yang berkuasa sangat memperhatikan pendidikan di atas kepentingan lain. Misalnya presiden George Bush (1991) dalam masalah penganggaran pendidikan, ia menegaskan; “As a nation, we now invest more in education than in defance”.Bagimana dengan Indonesia? Nampaknya pemerintah kita masih disibukkan oleh persoalan siapa yang duduk di kursi pemerintahan. Belum lagi bencana alam yang sering mengancam negeri ini. Entah gempa bumi, sunami, angin puting beliung, tanah longsor, lumpur yang keluar dari dasar bumi, kecelakaan transportasi darat, laut dan udara, menyita perhatian dan biaya besar bagi bangsa ini. Pada akhirnya, kepentingan pendidikan menjadi perhatian yang kesekian.Manajemen pendidikan yang semrawut berujung pada rendahnya kualitas sumber daya manusia pendidikan kita. Dalam Human Development Index/HDI laporan UNDP 2000 Indonesia berada di posisi 109; Filipina (77); Thailand (76); Malaysia (61); Brunei Darussalam (32); Korea Selatan (30); dan Singapura (24). Bahkan tahun 2003 laporan UNDP Indonesia menurun berada di posisi 112 dari 175 negara (Kompas, 10 Juli 2003). Kondisi tersebut sudah terjadi tujuh tahun silam dan menurut para ahli, jika mutu pendidikan Indonesia tidak segera ditingkatkan, bisa jadi angka-angka tersebut mengalami kenaikan dan Indonesia jelas dalam level yang sangat rendah.
Pembodohan di sekolah
Sekolah dalam anggapan banyak orang tua, merupakan harapan satu-satunya bagi pendidikan anak untuk meraih masa depan yang cemerlang. Tak heran jika mereka rela mengeluarkan biaya yang besar guna menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan terkadang mereka rela menyogok pihak sekolah agar anaknya bisa diterima di salah satu sekolah favorit. Namun celakanya, harapan cemerlang nan indah tersebut sirna seketika. Sekolah tak lagi berdaya menghasilkan manusia yang tangguh menghadapi tantangan baik moral maupun intelektual. Timbul wacana dalam masyarakat kita bahwa, ”jika ingin pintar jangan sekolah, tetapi cukup belajar saja”. Pendapat tersebut juga didukung hasil temuan Gardner (1991) dalam bukunya “The Unschooled Mind” yang menyatakan bahwa “banyak siswa yang mengikuti proses pembelajaran di ruang kelas, namun fikirannya tidak tersekolahkan”.Kegiatan persekolahan kenyataannya justru hanya melangsungkan praktik pembodohan. Persoalan ini lebih banyak disebabkan oleh orientasi pendidikan kita yang cenderung memperlakukan peserta didik sebagai objek atau klien. Guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator, materi bersifat subject oriented, sementara manajemen bersifat sentralistis. Akibatnya, pendidikan mengisolir diri dari kehidupan yang riil di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan dan terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian.Proses belajar mengajar didominasi dengan tuntutan untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin guna menghadapi test atau ujian, di mana siswa harus mengeluarkan apa yang telah dihafalnya. Kenyataan ini sangat bertentangan dengan kondisi psikologis peserta didik. Menurut Martin Seligment dalam Stolz (2003), proses transfer pengetahuan kepada siswa akan efektif jika melalui “gaya belajar” siswa sendiri. Konsekuensinya, gaya mengajar guru harus disesuaikan dengan gaya belajar siswa tersebut. Tetapi kenyataannya, dalam pembelajaran di kelas justru siswa harus susah payah menyesuaikan dengan gaya mengajar guru. Akibatnya, siswa cenderung tertekan dan belajar dalam kondisi yang tidak menyenangkan.Proses pembelajaran demikian, pada akhirnya memunculkan berbagai kesenjangan akademik, kesenjangan kultural dan moral dalam pendidikan. Kesenjangan akademik menunjukkan bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah, tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Bukan saja karena ketidak mampuan guru mengaitkan pelajaran dengan fenomena sosial, tetap guru juga tidak mau belajar pada perkembangan zaman yang begitu pesat. Akibatnya, guru terpaku pada pemikiran sempit dan kurang peka terhadap permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan. Jika sudah demikian, mereka akan kehilangan gambaran peta pendidikan dan kemasyarakatan secara komprehensip. Kesenjangan kultural dan moral menghasilkan out-put pendidikan berupa para elit politik yang tidak bermoral, sarat dengan prilaku kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), merebaknya berbagai tawuran antar mahasiswa dan mulai lunturnya nilai-nilai luhur tradisional dari generasi muda.Prilaku pembodohan yang tersistematis dalam sistem pendidikan nasional juga tampak dalam pergantian dan perubahan kurikulum, materi pelajaran, distribusi informasi, inovasi pembelajaran, filterisasi informasi, sertifikasi guru, kompetensi siswa, mahalnya biaya sekolah, biaya buku, biaya seragam, rendahnya penghargaan terhadap guru, pemalsuan ijazah, penjualan gelar dan penyuapan dari orang tua ke guru.
Haruskah Menaikkan Anggaran ?
Wacana kenaikan anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN kembali mencuat dan menimbulkan pro-kontra. Kenaikan anggaran pendidikan ini disebabkan keprihatinan terhadap kenyataan di lapangan, bahwa pendidikan belum terjangkau oleh masyarakat miskin. Oleh karena itu, pemerintah hendak menciptakan pemerataan pendidikan untuk seluruh lapisan masyarakat (education for All).Bagi sebagian kalangan, menyambut baik kebijakan tersebut dengan harapan alokasi dana sebesar 20 % bisa mendongkrak mutu pendidikan kita. Apakah semudah itu ? Pengelolaan pendidikan kita selama ini layaknya benang kusut yang tidak berujung-pangkal. Seandainya kebijakan tersebut dilaksanakan, bisa mengurangi anggaran untuk pos-pos lainnya —kesehatan, pertahanan keamanan, sosial budaya dan sebagainya. Pada gilirannya, rakyat juga yang kembali menuai kesengsaraan akibat tidak tercukupi kebutuhan hidup lainnya.Kurangnya pemerataan dan carut-marut pendidikan kita selama ini disebabkan pendidikan dikelola tidak secara profesional. Terjadi bongkar pasang kebijakan secara tidak konsisten, misalnya; penerapan kurikulum CBSA, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan kurikulum KTSP. Penggantian nama dari SMA ke SMU kembali lagi ke SMA, sebelum diadakan evaluasi hasil pelaksanaanya.Menurut hemat penulis, penyelesaian persoalan pelik dalam pendidikan tidak mesti harus dengan menaikkan anggaran pendidikan. Tetapi, pertama-tama pendidikan dikelola dengan manajemen profesional. Manajemen profesional ini merupakan manajemen yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen secara sungguh-sungguh, konsisten dan berkelanjutan, dalam mengelola sumber daya pendidikan sehingga tercapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien (Kast and Rosenweig : 1979).Setiap kebijakan pendidikan menurut manajemen profesional dikelola dengan langkah-langkah : pertama, dilakukan perencanaan (plan) secara matang, baik perencanaan strategis maupun taktis. Kedua, pelaksanaan (do) yang melibatkan sumber daya manusia yang profesional dan sesuai bidangnya. Dalam tahap pelaksanaan ini diperlukan pengkoordinasian, supervisi, pengawasan dan kepemimpinan yang profesional. Ketiga, tahap evaluasi. Setelah kebijakan dilaksanakan maka perlu dievaluasi (check) untuk mengetahui sejauhmana perencanaan dapat dilaksanakan dan tujuan tercapai. Keempat, hasil evaluasi selanjutnya digunakan untuk perbaikan (reviw). Ini berarti setiap akan merumuskan kebijakan baru, harus didasarkan pada hasil evaluasi terhadap kebijakan yang telah diimplementasikan. Manajemen pendidikan yang profesional selalu mengadakan plan, do, check dan review secara konsisten, terus menerus dan berkelanjutan. Pengelolaan pendidikan secara profesional menjadi sebuah keharusan. Kerjasama yang baik antara pemerintah, ahli pendidikan, stake holder pendidika, komite sekolah (yang mewakili orang tua siswa dan siswa), semestinya dilakukan semenjak perencanaan pendidikan dibuat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kebutuhan dan keadaan sesungguhnya yang dialami di lapangan. Jika sudah demikian, pembuat kebijakan bisa menerima masukan-masukan yang berguna untuk kebijakan pendidikan selanjutnya. Dengan jalan tersebut, pendidikan kita akan berkambang, berkualitas dan mampu bersaing secara wajar dalam konstelasi pendidikan global. Smoga []*)Praktisi Pendidikan, Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. E-mail : agus1982wb@yahoo.co.id / agus82wb@yahoo.com

0 Comments: