Wednesday, April 18, 2007


Televisi dan Prilaku Anak
Oleh: Agus Wibowo, S.Pd. I *
Hampir sepertiga kehidupan kita dikuasai oleh media massa baik cetak maupun elektronik. Tak tak heran jika gagasan, pandangan, bahkan sikap hidup kita dipengaruhinya. Pengaruh luar biasa disumbangkan televisi bagi kehidupan kita. Televisi merupakan sarana komunikasi utama sebagian besar masyarakat kita, tidak terkecuali masyarakat barat. Tidak ada media lain yang dapat menandingin televisi dalam hal volume teks budaya pop yang diproduksinya dan banyaknya penonton.
Tanpa disadari pula, berbagai tayangan televisi telah mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak khususnya bagi yang belum memiliki referensi yang kuat (anak-anak & remaja). Hal ini karena televisi bersifat audio visual sinematografis yang memiliki dampak besar terhadap perilaku khalayaknya laksana pengaruh jarum suntik terhadap manusia.
Tayangan-tayangan televisi juga cendrung mengabaikan ketentuan yang sudah ditetapkan. Misalnya ditonjolkannya eksploitasi sex, kekerasan, budaya konsumerisme dan hedonisme. Dalam suatu pembahasan yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), terungkap keprihatinan akan dampak tayangan-tayangan serta kekerasan dan seks bebas terhadap anak-anak dan generasi muda di Indonesia. Beberapa peristiwa yang menggemparkan dunia, seperti pembunuhan yang dilakukan anak sekolah di Amerika, dapat dikaitkan langsung dengan adegan-adegan televisi. Tanpa penelitian yang mendalam, relita menyatakan betapa besarnya dampak (positif dan negatif) dari tayangan-tayangan televisi terhadap karakter dan perilaku anak.
Kebiasaan Yang Salah
Rata-rata anak usia 2 sampai 11 tahun menonton lebih dari 27 jam siaran televisi per-minggu yang tidak diawasi dengan baik. Hal ini karena kegiatan lain dari anak-anak diluar nonton televisi hanya tidur, dan kebanyakan orang tua tidak sadar bahwa kebebasan menonton televisi kurang baik bagi anak.
Penelitian yang dilakuka Dr. Jay Martin dari Universitas Southern California menemukan bahwa : “ dalam studi beberapa tahun atas 732 anak, konflik dengan orang tua, perkelahian sesama anak, dan kejahatan remaja, ternyata ada korelasinya dengan jumlah jam menonton televisi". Tamparan berat bagi orang tua, khususnya untuk pengasuh anak dan orang tua yang membiarkan anak-anak mereka menonton "program-program yang baik" dalam jumlah moderat ke yang paling besar, bahwa "korelasi dasarnya bukan antara perilaku agresip dengan nonton kekerasan di televisi. Kenaikan berkorelasi dengan nonton televisi, bukan dengan nonton gambar-gambar kekerasan itu sendiri”. Proses menonton- jumlah jam yang dihabiskan untuk nonton —merupakan faktor utama yang mempunyai korelasi dengan perilaku negatif.
Untuk memperluas dan mendapat pilihan program televisi yang lebih menarik, mayoritas warga Amerika saat ini memilih berlangganan televisi kabel. Namun, pengawasan yang lebih baik bukan diperoleh dari iuran bulanan. Kenyataannya, dari studi atas 450 anak kelas 6 yang dilakukan oleh Prof. Godfrey Ellis dari Oklahoma State University, ditemukan bahwa 66% dari anak-anak tersebut menonton paling sedikit satu program dalam satu bulan yang berisi acara orang tanpa busana atau cerita seksual yang berat.
Kemana anak-anak mengembangkan gagasan moral mereka yang semakin lemah? Sebagian besar dari penyebabnya dapat disalahkan pada tayangan televisi yang diatur dengan tidak baik. Seorang anak bisa mengikuti sekolah satu jam dalam seminggu, ke masjid dalam dua jam atau lebih dan tidak pernah benar-benar mendengar larangan Allah tentang seks pra-nikah. Namun, ketika anak dapat meng-akses seecara tidak terbatas perspektif dunia ini sebanyak 25 sampai 30 jam seminggu, gagasan mana yang kita harapkan terbanyak mempengaruhi anak tersebut?
Televisi ternyata juga mempengaruhi keharmonisan anak bersama keluarga. Suatu studi yang dilakukan oleh Michigan State University menunjukkan "ketika anak berumur empat dan lima tahun dimana mereka ditawarkan pilihan antara berhenti menonton televisi tanpa didampingi ayah mereka, sepertiga memilih lebih baik tanpa didampingi sang ayah". Dalam studi yang lain dikatakan, "rata-rata anak umur lima tahun menghabiskan waktu kurang-lebih 25 menit seminggu bercengkerama dengan ayah mereka, sementara mereka menghabiskan waktu 25 jam seminggu untuk menonton televisi.
Orangtua sering menyesal tidak dapat menyediakan waktu cukup untuk anak-anak mereka. Tapi "dua pertiga" berkata mereka mungkin akan menerima pekerjaan yang menawarkan gaji lebih tinggi atau prestise lebih besar kendati hal itu menyebabkan mereka berada lebih banyak di luar rumah. Waktu habis untuk berinteraksi dengan keluarga hanya karena digunakan untuk menonton televisi.
Cara mengatur acara televisi yang kurang baik, akan menghilangkan kesempatan anak-anak mempelajari bagaimana membina hubungan dengan orang lain termasuk orang tua dan saudara kandung mereka, juga bagaimana membina hubungan dengan keluarga. Dalam survey secara nasional (yang dibuat seimbang secara etnis) terhadap 750 anak usia sepuluh sampai enambelas tahun, "tiga perempat berkata jika mereka diberi pilihan antara nonton televisi atau menghabiskan waktu dengan keluarga, mereka akan memilih waktu bersama keluarga. Sebaliknya, dengan kata-kata yang agak keras seorang penulis, "Orangtua telah menyalahgunakan anak-anak untuk keuntungan mereka dengan membuat televisi menjadi seperti pengasuh anak (baby sitter).
Penyadaran Melalui Pendidikan
Seorang psikolog James Baldwin (1897) berpendapat bahwa karakter yang berkembang pada fase anak-anak hingga remaja, memang lebih bersifat imitatif dan plagiasi atau peniruan. Menurutnya paling sedikit ada dua bentuk peniruan; pertama, peniruan yang didasarkan pada kebiasaan mereka. Kedua, peniruan yang didasarkan orang lain yang perilakunya mereka tiru. Walau dengan konsep yang berbeda Charles Cooley (1902) yang merupakan seorang sosiolog juga sepaham dengan pandangan Baldwin tersebut. Perhatian mereka terfokus kepada perilaku sosial yang melibatkan proses mental atau kognitif. Menurut mereka, kelemahan mentalitas kepribadian membuat anak-anak secara tidak sadar mengikuti apa saja yang ditampilkan televisi.
Barangkali kelemahan mentalitas dan kepribadian inilah yang membuat peserta didik kita tanpa sadar, gaya dan kehidupannya telah terbentuk laksana tokoh sinetron, bintang film maupun berbagai iklan yang mereka tonton ditelevisi termasuk tayangan smack down. Kasus kematian anak di beberapa daerah dilatar belakangi oleh tayangan program smack down (oleh raga tinju bebas) yang disiarkan oleh salah satu stasiun swasta juga semakin menambah deretan buram dampak televisi. Sepintas lalu memang tanyangan smack down ini lebih berorentasi pada olah raga, akan tetapi terlihat tayangan ini lebih mengedepankan aspek kejantanan, kekerasan dan keberingansan yang tak layak dikonsumsi oleh anak-anak.
Dalam era pasar bebas yang sedang berkembang memang kita tidak bisa menutup diri, apalagi melarang berbagai tayangan yang berbau budaya barat (semacam smack down dan sebagainya) hadir dalam kehidupan kita. Karena dalam dunia pasar bebas ada dimensi etisitas atau eukonoonia (hidup bersama yang baik). Etisitas merupakan istilah antropologi yang digunakan untuk menamai suatu hubungan yang tidak saling menganggu. Dengan istilah lain “biarkan mereka begitu, kita tidak bisa melarang karena kita juga begini”(Antonio Pasquali, 1997). Yang terbaik bagi kita sebagai bangsa yang menerima pasar bebas, adalah berbenah dan siap mental menghadapi segala macam pengaruh pasar bebas yang ditayangkan lewat televisi.
Etika yang dibangun tidak sebatas etika yangh sempit tetapi etika yang menjangkau multikultural, multi moral dan multi nasional. Metode pendidikan yang terbaik dalam mengatasi pengaruh budaya pasar bebas adalah pendekatan etis-indikatif. Dalam pendekatan ini terjadi pergeseran paradigma dari etis-imperatif menuju etis-indikatif yaitu pemberian ruang gerak yang lebih leluasa kepada anak untuk menggunakan akal sehat dan nuraninya dalam mengambil keputusan. Tugas dunia pendidikan adalah memberikan penjelasan berbagai kerugian ataupun keuntungan apa yang diperoleh, apabila anak-anak meniru budaya pasar bebas yang ditampilkan melalui televisi. Selain itu, cara terbaik untuk membentengi anak atas sikap agresip yang berlebihan dan konflik antar pribadi adalah pendekatan dua arah. Pertama, mengurangi jumlah waktu nonton televisi. Kedua, orang tua harus melarang anak-anak menonton semua program berisi kekerasan. Hal ini untuk menghilangkan sifat tebal muka atas rasa sakit dan penderitaan dalam hati anak-anak. Sifat ini akan mendidik anak untuk berprilaku kejam dan tidak berperasaan.
*) Praktisi Pendidikan, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. E-mail : agus82wb@yahoo.com

0 Comments: