Wednesday, April 18, 2007


Sertifikasi Guru; Antara Kompetensi dan Lahan KKN
Oleh : Agus Wibowo*
Profesi guru memang bukan pekerjaan tanpa resiko, berbagai persoalan pelik senantiasa menghadang dalam perjalanan karirnya. Sejumlah predikat yang mesti dipertahankannya, entah sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, uswatun al-khasanah (suri tauladan) atau gelar lainya, menuntut konsekuensi logis segenap jiwa raga dan pikirannya. Diakui maupun tidak, guru merupakan garda depan mutu pendidikan kita. Namun anehnya, tugas berat yang harus dipikul guru kadang kala tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan guru, mengutip puisi Winarno Surakhmad (2007); ”Guru, orang yang harus hidup sebulan dengan gaji sehari.”
Di satu pihak, memang ada yang menjadikan profesi guru sebagai batu loncatan karena tidak diterima bekerja di bidang lain. Seringkali ditemukan guru mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya, tidak sesuai dengan kompetensinya, dan mengajar dengan asal-asalan saja. Pada akhirnya mutu pendidikan kita menjadi imbasnya, kualitas sumber daya manusia (SDM) kita saban tahun semakin menurun. Misalnya dalam Human Development Index (HDI) laporan UNDP 2000, kualitas SDM Indonesia berada di posisi 109; Filipina (77); Thailand (76); Malaysia (61); Brunei Darussalam (32); Korea Selatan (30); dan Singapura (24). Bahkan tahun 2003 laporan UNDP Indonesia menurun berada di posisi 112 dari 175 negara (Kompas, 10 Juli 2003). Kondisi tersebut sudah terjadi tujuh tahun silam dan menurut para ahli, jika mutu pendidikan Indonesia tidak segera ditingkatkan, bisa jadi angka-angka tersebut mengalami kenaikan dan Indonesia jelas dalam level yang sangat rendah.
Garda Depan Mutu Pendidikan
Guru yang profesional (memiliki kompetensi) dan efektif me-rupakan kunci keberhasilan bagi proses belajar-mengajar di sekolah itu. John Goodlad, seorang tokoh pendidikan Amerika Serikat pernah melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran. Penelitian itu kemudian dipublikasikan dengan titel: Behind the Classroom Doors, yang di dalamnya dijelaskan bahwa ketika para guru telah memasuki ruang kelas dan menutup pintu-pintu kelas itu, maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan oleh guru. Hal ini sangat masuk akal, karena ketika proses pembelajaran berlangsung, guru dapat melakukan apa saja di kelas. Ia dapat tampil sebagai sosok yang menarik sehingga mampu menebarkan virus nach (needs for achievement) atau motivasi berprestasi, jika kita meminjam terminologi dari teorinya Mc Cleland.
Sebaliknya, dengan otoritasnya di kelas yang begitu besar itu, bagi seorang guru juga tidak menutup kemungkinan untuk tampil sebagai sosok yang membosankan, instruktif, dan tidak mampu menjadi idola bagi siswa di kelas. Bahkan dia juga bisa berkembang ke arah proses pembelajaran yang secara tidak sadar mematikan kreativitas, menumpulkan daya nalar, mengabaikan aspek afektif, dan dengan demikian dapat dimasukkan ke dalam kategori banking concept of education-nya Paulo Friere, atau learning to have-nya Eric From. Pendek kata, untuk melindungi kepentingan siswa, dan juga untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) di daerah dalam jangka panjang di masa depan, guru memang harus profesional dan efektif di kelasnya masing-masing ketika ia harus melakukan proses belajar-mengajar (Suyanto, 2006).
Oleh karena itu, langkah pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Guru dan Dosen, patut diacungi jempol. Sertifikasi guru yang termuat dalam UU tersebut, selain bertujuan menigkatkan mutu pendidikan dari sektor guru, juga dibarengi naiknya gaji dan kesejahteraan. Menigkatnya kesejahteraan guru ini merupakan efek positif dari sertifikasi yang dipersyaratkan tersebut. Salah satu persyaratan sertifikasi yang mungkin menyulitkan guru adalah sertifikasi kompetensi, karena di sini guru akan diuji kompetensi dan kelayakannya sebagai pekerja profesional. Selain itu, karena guru yang akan disertifikasi jumlahnya cukup banyak, maka setiap guru harus menunggu giliran diuji sertifikasi alias antri. Lebih dari itu, tidak menutup kemungkinan banyak guru yang tidak lulus uji kompetensi dan harus mengulang serta menunggu giliran berikutnya.
Jaminan Kehidupan dan Lahan KKN
Persoalan kegagalan pendidikan di Indonesia, memang tidak hanya bertumpu pada rendahnya kualitas guru, tetapi banyak hal terkait yang semestinya juga harus dibenahi. Masalah sarana dan prasarana pendidikan, manajemen pendidikan, sistem pendidikan, kurikulum, kualitas tenaga pengajar (guru dan dosen), dll. Meskipun demikian, secara umum memang guru merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kualitas hasil pendidikan. Sedangkan posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan, sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional, faktor kesejahteraannya, dll.
Dalam UU Guru dan Dosen khususnya pada pasal 8 dijelaskan bahwa: ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Semangat dari pasal ini dengan sertifikasi diharapkan masyarakat lebih menghargai profesi guru, dan meningkatkan mutu guru di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai langkah menjadikan guru sebagai tenaga yang handal dan profesional.
Sebagai konsekuensinya, bagi guru yang lulus dalam menjalani sertifikasi, guru berhak mendapatkan beberapa tunjangan sebagaimana disebutkan dalam pasal 15 ayat 1, yaitu : 1) tunjangan profesi, 2) tunjangan fungsional, dan 3) tunjangan khusus. Tiga jenis tunjangan tersebut juga diatur dalam pasal 16, 17 dan 18 UU Guru dan Dosen. Tunjangan profesi diberikan kepada guru baik guru PNS ataupun guru swasta yang telah memiliki sertifikat pendidik. Dengan demikian, guru dari sekolah-sekolah swasta non-PNS bisa berlomba-lomba untuk lolos uji sertifikasi. Kebijakan ini semestinya disambut secara positif bagi guru-guru non-PNS yang selama ini hidup dari gaji pas-pasan. Lewat sertifikasi guru ini mereka bisa memperbaiki kompetensi profesionalnya dan tentu saja taraf hidupnya. Disamping tunjangan tersebut, guru juga berhak untuk memperoleh ”maslahat tambahan” yang tercantum dalam pasal 19 yaitu : 1) tunjangan pendidikan, 2) asuransi pendidikan, 3) beasiswa, 4) penghargaan bagi guru, 5) kemudahan bagi putra-putri guru untuk memperoleh pendidikan, 6) pelayangan kesehatan dan 7) bentuk kesejahteraan lain.
Idealnya melalui program sertifikasi guru ini kesejahteraan guru bakal terjamin, sementara kredibilitas profesi guru-pun menjadi lebih terhormat. Meskipun demikian, timbul kekhawatiran bagaimana kontribusi program sertifikasi guru ini bagi mereka yang memang dari dahulu tidak berkualitas. Pada akhirnya secara de jure mereka tidak layak untuk mengajar, dan hal ini tentunya menjadi permasalahan baru karena mau dikemanakan mereka. Selain itu beberapa kalangan mengkhawatirkan program sertifikasi ini (yang diselenggarakan oleh LPTK) nantinya akan menimbulkan masalah baru di dunia pendidikan, terutama yang mengarah pada terciptanya lembaga yang menjadi sarang kolusi dan korupsi (KKN) baru, yang pada akhirnya akan memperburuk kondisi pendidikan bangsa. Hal ini dilihat dari banyaknya penyelenggara pendidikan (yayasan-yayasan) yang tidak jelas keberadaannya membuka program sertifikasi. Padahal, lembaga pendidikan tersebut belum memenuhi standar mutu pelayanan pendidikan dan standart mutu pendidikan.
Meskipun demikian, sertifikasi guru yang diamanatkan dalam Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Guru dan Dosen patut dilaksanakan dan didukung oleh segenap pihak demi kemajuan pendidikan kita. Sertifikasi harus dilaksanakan secara bersih dan akuntabilitas (pertanggungjawaban) dengan kriteria; Pertama, di-laksanakan secara jujur, trasparan dan jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kedua, lembaga penyelenggara sertifikasi harus lembaga yang benar-benar berkualitas dan sudah mendapat standar dari badan akreditasi nasional (BAN). Ketiga, pembuatan instrumen ujian sertifikasi harus mewakili kompetensi yang mestinya dikuasai guru. Oleh karena itu, pembuatan butir soal semestinya memerlukan para ahli pendidikan (bekerjasama dengan UNY, UPI dan sebagainya). Jika kualitas butir soal tidak merepresentasikan kemampuan (kompetensi) yang harus dicapai, sama halnya sertifikasi sebagai pelaksanaan proyek yang mubadzir. Keempat, janji tunjangan bagi guru setelah mengikuti sertifikasi, harus benar-benar direalisasikan. Sebab belajar dari pengalaman sejarah, banyak kebijakan pemerintah yang menuntut guru meningkatkan kualitas mereka, tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan mereka, pada akhirnya guru terus menjadi ”pahlawan tanpa tanda jasa.”[]
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

0 Comments: