Wednesday, April 18, 2007


Sastra dan Kekerasan dalam Pendidikan Kita
Oleh : Agus Wibowo *
Penganiayaan yang berujung kematian, kembali terjadi dalam dunia pendidikan. Clieff Muntu, Praja Tingkat II, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) harus mengakhiri hidupnya di tangan kakak kelasnya (seniornya) senin (2/04/2007). Media cetak dan elektronik beberapa waktu ini berlomba mengulas tragedi tersebut. Beberapa televisi swasta bahkan menayangkan tindakan kekerasan yang dilakukan para senior IPDN pada yuniornya. Kita-pun dibuat geram oleh tayangan tersebut, kita juga bisa membayangkan kegelisahan para orang tua taruna, memikirkan anaknya yang sedang mengikuti pendidikan di IPDN.
Persoalan kekerasan dalam pendidikan —lebih-lebih di IPDN— mestinya tidak terjadi, jika pendidikan sastra mendapat tempat atau diajarkan secara benar dan seimbang dalam lembaga pendidikan tersebut. Tapi kenyataannya, selama ini nada lembaga persekolahan terhadap sastra dan sastrawan sangat tidak bersahabat. Kurikulum pendidikan kita malah terkesan ingin menghapuskan etika atau akal budi yang bersumber dari karya sastra. Hal ini dibuktikan sampai saat ini pelajaran kesusasteraan masih sebagai bagian dari mata pelajaran lain, seperti bagian Bahasa lndonesia dan porsinya pun hanya 10 persen. Kalau diperguruan tinggi ia hanya bagian dari mata kuliah budaya dasar, porsi materi sastra 0,1 persen. Seakan-akan sastra hanyalah pelajaran sampingan yang jika dalam keadaan mendesak layak untuk ditiadakan. Bebeda dengan matematika, fisika, kimia dan akuntansi. Ironisnya lagi generasi muda seakan percaya bahwa sastra memang tak bisa memberikan apa-apa. Apalagi, memberikan titik terang pada masa depannya.
Sastra membentuk Prilaku Luhur
Sejatinya sastra bisa menjadi panji utama penjaga etika di negeri ini. Sastra bukan hanya berfungsi sebagai agen pendidikan, membentuk pribadi keinsanan seseorang, tetapi juga memupuk kehalusan adab dan budi kepada individu serta masyarakat agar menjadi masyarakat yang berperadaban (Edi Firmansyah, 2006). Dalam satu kesempatan, Fuad Hasan pernah berkata: “Kalau mau perang, kumpulkan seribu sastrawan untuk bicara soal strategi perang yang akan di pakai, nanti hasilnya tidak akan pernah terjadi perang”. Hal ini menggaris bawahi bahwa sastra bisa menempa hati yang keras menjadi halus, lembut dan penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaiman diungkapkan Friedrich Schiller, sastra bisa menjadi semacam permainan menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Dengan kesusastraan, seorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit kerdil dan picik (Darmaningtyas, 2004;81).
Pengajaran sastra menurut Suwarsih Madya (2005) dapat memberikan andil yang signifikan terhadap keberhasilan pengembangan manusia yang diinginkan, asalkan dilaksanakan dengan pendekatan yang tepat, yaitu pendekatan yang dapat merangsang terjadinya olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga. Menurut Suwarsih, pengajaran bahasa dan sastra dapat saling mendukung jika keduanya dilaksanakan dengan pendekatan yang tepat. Selama ini, menurutnya, banyak kelas-kelas bahasa dan sastra dinilai kurang menarik bagi peserta didik karena pendekatannya kurang tepat. “Bahasa dan sastra selama ini diperlakukan sebagai pengetahuan sehingga kurang melibatkan peserta didik,” ujarnya. Ditambahkannya, para guru bahasa dan sastra tidak berupaya membuat pembelajaran menarik bagi peserta didik. Karena itu, tambahnya lagi, diperlukan upaya agar peserta didik merasa bangga terhadap bahasa nasionalnya.
Perlu Rekonstruksi Kurikulum
Pembenahan kurikulum dari 1984 menjadi kurikulum 1994 dan disempurnakan lagi dengan kurikulum berbasis kompetensi belum menunjukkan kemajuan berarti bagi sastra di sekolah. Sastra masih sebagai pelajaran yang asing untuk sekolah di kota. Bisa dibanyangkan bagaimana keadaan sekolah di desa, kenal sastra-pun tidak. Oleh karena itu, hadirnya Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP), diharapkan lebih menuntut siswa ataupun guru untuk memiliki kemampuan apresiasi sastra yang tinggi. Dan hal ini tentu lebih menuntut ketersediaan buku-buku sastra yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan siswa. Untuk selanjutnya, sebaiknya pemerintah mengusahakan pula program penyediaan sumber pembelajaran apresiasi sastra Indonesia terutama penyediaan karya sastra berupa kumpulan novel, cerpen, kumpulan puisi bagi siswa di sekolah-sekolah (perpustakaan sekolah). Dengan tersedianya sumber belajar/karya sastra yang lengkap yang sesuai dengan masa perkembangan dan kebutuhan para siswa di setiap sekolah, maka hal itu tentu sangat mempengaruhi dalam penyusunan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran serta evaluasi pembelajaran di sekolah. Hasil yang dicapai tentu akan lebih baik lagi.
Bagaimanapun, keprofesionalan guru bahasa dan sastra Indonesia sangat dipengaruhi pula oleh ketersediaan sumber belajar/karya sastra bagi siswa di sekolah. Hal ini sangat diperlukan dalam proses pembelajaran sastra, karena tanpa karya sastra atau tanpa ada siswa membaca karya sastra itu secara langsung maka pembelajaran apresiasi sastra Indonesia pada dasarnya adalah bohong belaka dan yang ada sebenarnya adalah pembelajaran (pengetahuan) sastra Indonesia saja. Ketersediaan sumber belajar/karya sastra di perpustakaan sekolah sangat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di masa yang akan datang disamping adanya faktor lain, tentunya. Jadi dapat dikatakan bahwa faktor ketersediaan sumber belajar/karya bagi siswa dalam pembelajaran apresiasi sastra Indonesia termasuk faktor yang penting dan mutlak harus tersedia (Ermanto, 2001).
Kita mestinya segera mengakhiri berbagai tindak kekerasan dalam pendidikan, melalui pengajaran sastra yang benar di sekolah. Lebih-lebih, pengajaran sastra-sastra klasik seperti Mahabarata, Ramayana, Serat Centini, Serat Nitisastra, Wulangreh, Gurindam raja Ali Haji, dan sebagainya. Sastra akan memberi pencerahan dalam batin peserta didik, memupuk persaudaraan, menyadarkan kedirian manusia dan membentuk figur yang elegan, demokratis dan santun terhadap sesama. Sebagaimana dilukiskan dalam puisi Sultan Hamangku Buwono X dalam tulisannya “Berbakti kepada Ibu Pertiwi “:
Aku takkan bermakna tanpa mereka
Mereka yang memiliki arti
Mereka yang bersuara
Suara-suara yang jelas terdengar
Laa ilaaha’illallaah, Laa ilaahaĆ­illallaah
Suara-suara itu kini makin keras terdengar
Bukan dari mulut semata, bukan dari kekosongan belaka
Suara-suara dari jiwa-jiwa yang ingin merdeka
Suara-suara kawula yang menyatu dengan alam raya
Allahu Akbar, Allahu Akbar
Itulah suara hati, suara nurani
dari mereka yang berjalan bersamaku
Guratanku adalah suara mereka
Jeritanku adalah jeritan mereka
Tangisku adalah tangis mereka
Ceriaku adalah ceria mereka
Hatiku adalah hati mereka jua
.[]
*) Praktisi Pendidikan dan Pemerhati sastra, Tinggal di Jogja.
Alamat Penulis : agus82wb@yahoo.com dan agus1982wb@yahoo.co.id, Telp : 081 327 221189 Rekening : BRI Unit Mataram 3015-01-009577-53-3

0 Comments: