Wednesday, April 18, 2007

Pendidikan dan Krisis lingkungan Global
Oleh: Agus Wibowo, SPd.I
Semenjak dua dasawarsa terakhir, persoalan lingkungan hidup menjadi isu dominan dalam bidang pendidikan, sosial, politik dan bisnis global. Hampir di berbagai media massa baik cetak maupun elektronik menyajikan liputan mengenai persoalan lingkungan hidup. Berbagai pakar entah pakar lingkungan, politik, budaya maupun tokoh agama urun rembug memberi solusi mengatasai permasalahan lingkungan hidup. Tetapi krisis lingkungan bukannya semakin reda, malah sebaliknya. Bencana alam dalam tiga tahun terakhir seperti banjir bandang di Jawa Timur, tanah longsor di Banjarnegara, bencana Sunami yang melibas Aceh, kondisi gunung Merapi yang semakin memburuk, pencemaran lingkungan akibat PT Freeport dan sebagainya.
Pakar lingkungan hidup berpendapat bahwa krisis lingkungan disebabkan oleh paradigma antroposentris, pakar kebudayaan menyebutnya sebagai “pamrih”, sementara tokoh agama menyebutnya “kesombongan dan keangkuhan”. Kesemua istilah tersebut berpusat pada manusia dengan segala tindakannya. Krisis lingkungan sebenarnya tergantung dari sikap manusia terhadap lingkungan hidupnya. Sampai saat ini, sikap pengelolaan lingkungan pada umumnya baru dalam taraf kognitif, artinya manusia baru mengetahui dan memahami bila gejala kerusakan alam disebabkan oleh tingkah laku keliru pada masa lalu, namun sikap manusia tidak menunjukkan usaha kongkrit dalam mengelola lingkungan. Dari tahap sikap ke tahap psikomotorik (tindakan / prilaku) sebagai pengelola, masih memerlukan kondisi dan situasi tertentu. Mereka yang sekarang masih merusak lingkungan dapat disebut “salah didik”. Oleh karena itu, pendidikan harus diarahkan pada pembentukan sikap dan prilaku sadar kelestarian lingkungan.

Paradigma Pendidikan yang Keliru
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang dilaksanakan di Rio De Jenairo bulan Juni 1992, menghasilkan beberapa agenda yang diberi nama agenda 21. Salah satu agenda tersebut di antaranya adalah program pendidikanlingkungan hidup yang di dalamnya tercakup tiga hal yaitu: mereorientasikan pendidikan ke arah pembangunan berkelanjutan, meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya menjaga kelestarian lingkungan hidup dan meningkatkan latihan.
Program reorientasi pendidikan dalam KTT bumi tersebut mengisyaratkan adanya permasalahan serius dalam dunia pendidikan. Menurut KTT bumi tersebut, pendidikan selama ini tidak bisa lagi diharapkan kontribusinya dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup. Pendidikan malah berperan sebaliknya, dengan memberi andil yang cukup besar terhadap kerusakan lingkungan hidup. Penyebabnya bertumpu pada orientasi pendidikan yang selama ini justru menghasilkan kualitas manusia eksploitatif terhadap alam, dan sedikit menghasilkan kualitas manusia yang mempunyai tanggung jawab serta bersikap etis terhadap lingkungan.
Awal mula terjerumusnya pendidikan sebagai penyebab krisis lingkungan ini, diakui oleh para ahli pendidikan bermula dari hilangnya orientasi pendidikan pada nilai-nilai etika lingkungan serta orientasi pendidikan yang memandang bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sebagai primadona kehidupan. Selain itu, masyarakat modern juga berkeyakinan bahwa kemajuan umat manusia semata-mata, tergantung pada teknologi sebagai aplikasi ilmu pengetahuan tersebut. Karena pengetahuan merupakan dasar penciptaan teknologi, pendidikan kemudian membuat sepesialisasi ilmu pengetahuan yang jika diterapkan dalam teknologi, mengakibatkan teknologi berorientasi sempit bahkan menyebabkan rusakanya lingkungan.
Persoalan serupa terjadi dalam pendidikan agama. Harun Nasution beberapa tahun silam pernah melontarkan kritik pedas terhadap pendidikan agama. Menurutnya, pendidikan agama tidak lagi menjadi pendidikan agama dalam arti kata sebenarnya, tetapi telah menjadi pengajaran pengetahuan agama. Hal ini dapat dilihat saat dilaksanakannya ujian, maka yang menjadi kriteria pendidikan agama adalah pengetahuan tentang agama yang dimiliki peserta didik meskipun telah diberlakukan kurikulum baru (KBK). Sebagai hasilnya, timbul manusia-manusia yang mengedepankan dogma dan pelaksanaan ritual. Selain itu, lahir pula masyarakat yang berpengetahuan agama bukan masyarakat yang mengamalkan agama. Akibatnya, agama tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Pendidikan agama yang bercorak intelektualistis dan pelaksanaan ibadah yang formalis, verbalistik dan mekanistik, dewasa ini tidak dapat membina kerohanian dan moral umat. Padahal, yang diperlukan dunia modern saat ini adalah aspek kerohaniahan dan moral agama, yang dapat membendung paham matrealisme. Disadari maupun tidak, paham matrealisme inilah yang menjadi penyebab utama kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Untuk itulah pendidikan agama harus mementingkan kembali kehidupan rohani dan pendidikan moral agama sebagaimana halnya di masa silam. Kata kuncinya adalah, dalam pendidikan agama harus dikembangkan faham prikemakhlukan di samping prikemanusiaan. Sehingga, akan timbul rasa kasih sayang terhadap sesama manusia, terhadap tumbuh-tumbuhan, semua benda tak bernyawa maupunlingkungan hidup.

Prinsip-prinsip Moralitas
Pendidikan perlu paradigma yang bersifat holistik dan tidak fragmentaris dalam menanamkan pendidikan berwawasan lingkungan kepada peserta didiknya. Sebab, hanya dengan lingkungan yang baik, manusia dapat berkembang dengan baik, dan hanya dengan manusia yang baik, lingkungan akan berkembang secara optimal. Pendidikan berwawasan lingkungan berperan menanamkan tata nilai lingkungan, agar manusia dapat selaras, serasi dan harmonis dengan lingkungan hidupnya. Dasar itulah yang menjadi pijakan dalam melaksanakan pendidikan berwawasan lingkungan kepada peserta didik. Sebuah konsekwensi yang logis untuk diwujudkan dalam lembaga-lembaga pendidikan baik ditingkat dasar, menengah maupun pendidikan tinggi.
Prinsip penting yang harus ditanamkan dalam pendidikan berwawasan lingkungan adalah prinsip moralitas. Moralitaslah yang saat ini ditengarai sebagai biang keladi kerusakan lingkungan. Pakar kebudayaan A.J Toynbee sebagaimana dikutip pengagumnya Marvin Perry menyimpulkan bahwa paradigma moral generasi muda dan masyarakat pada umumnya telah terkontaminasi paradigma antroposentrisme barat. Paradigma ini menilai alam layaknya sebuah mesin yang tidak mempunyai status spiritual apapun. Paradigma ini juga mengagungkan budaya hodonisme dan kapitalisme untuk menguras habis alam demi keuntungan personal. Oleh karena itu moralitas perlu ditanamkan dalam memperlakukan lingkungan hidup sebagaimana ungkapan Corolyn Merchant: “Andaikata bumi digambarkan laksana ibu susuan, yang berfungsi sebagai hambatan budaya membatasi tindakan manusia. Seseorang tidak akan mudah menyembelih ibunya, menggali isi perutnya, untuk mendapatkan emas, atau merusak tubuhya… selama bumi dianggap hidup dan berperasan, perusakan terhadap alam tidak akan terjadi”.
Sikap yang terkandung dalam moralitas diantaranya: pertama, sikap ikhlas dalam bertugas. Sikap dasar sebagai makhluk yang bertanggung jawab adalah kesediaannya yang tulus untuk menjalankan tugas dan kewajiban itu sendiri. Bukan didorong oleh faktor eksternal yang bersifat subjektif. Sikap demikian lazim disebut dengan sikap tulus ikhlas dalam bertugas atau dalam falsafah Jawa disebut sepi ing pamrih, rame ing gawe. Kedua, sikap berpikir secara positif. Sikap utama manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab adalah manusia selalu terpanggil untuk melakukan tindakan yang baik, harus selalu dilakukan secara prosedural. Ketiga, berpikir secara objektif. Artinya tanggung jawab memiliki makna terbuka terhadap nilai substansial suatu tugas dan kewajiban. Keempat, konsekuen dan sportif. Artinya ditanamkan kesadaran bahwa peserta didik sebagai makhluk yang bertanggung jawab memiliki tradisi sikap selalu terbuka, konsekuen dan sportif untuk mempertanggungjawabkan segala prilaku yang menjadi tugas dan kewajibannya. Kelima, potensi religius. Religiusitas bukan saja sebagai realitas yang hidup dalam kehidupan manusia, melainkan juga menjadi karakteristik manusia. Hubungan spiritual antara manusia dengan Tuhan merupakan realitas diri manusia sebagai makhluk beragama.
Sifat-sifat luhur yang terangkum dalam prilaku bertanggung jawab ini merupakan landasan dasar moralitas dalam mengelola alam besertalingkungan hidup. Potensi keistimewaan yang terdapat dalam diri manusia didayagunakan dengan dilandasi prilaku bertanggung jawab sehingga dapat berhasil guna bagi kepentingan semua pihak. Eksistensi manusia dengan segala keistimewaannya sebagai salah-satu komponen dalam ekosistem bermakna positif dan konstruktif bagi keseimbangan ekosistem.
Prinsip yang kedua adalah prinsip integral dan holistik. Integral menurut bahasa berarti utuh, bulat dan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sedangkan holistik berarti ciri pandangan yang menganggap bahwa keseluruhan sebagai suatu kesatuan yang lebih penting pada satuan-satuan bagian organisme. Secara implementatif prinsip holistik integralistik meyakini bahwa semua realitas yang ada, merupakan satu kesatuan yang utuh, menyeluruh dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Realitas dunia tidak dapat dipisahkan dengan realitas akhirat, realitas lahir tidak dapat dipisahkan dengan realitas batin, realitas dunia tidak dapat dipisahkan dengan realitas Tuhan dan realitas manusia tidak dapat dipisahkan denganlingkungan hidupnya. Singkatnya, seluruh realitas yang ada merupakan satu kesatuan, satu kehidupan, dan satu tatanan yang memiliki kehendak, pikiran dan tujuan yang sama. Kedudukan manusia dalamlingkungan adalah proporsional dan realistik. Dengan kata lain, posisi manusia dalamlingkungan adalah sewajarnya saja, tidak berlebih-lebihan.
Perubahan paradigma memang menjadi keniscayaan bagi dunia pendidikan. Harapnnya, pendidikan bisa lebih santun terhadap lingkungan. Kita tak mau anak didik dan generasi penerus semakin bersikap semena-mena terhadap lingkungan. Kerusakan lingkungan saat ini selain dirasakan oleh generasi kini, juga generasi yang akan datang yang tidak tau-menahu persolanan mendapatkan imbas perbuatan generasi sekarang.[]. Mahasiswa Program Pascasarjana UNY. Rekening BRI: 3015-01-009577-53-3

0 Comments: