Wednesday, April 18, 2007

Menyoal Kekerasan Dalam Pendidikan di Sekolah
Oleh : Agus Wibowo *

Dunia pendidikan kembali dikagetkan oleh meninggalnya Clieff Muntu, Praja Tingkat II, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) senin (2/04/2007). Kematian mahasiswa kontingen asal Manado ini akibat dianiaya oleh senior-seniornya yang berasal dari Sulawesi. Sehari kemudian, kesepuluh praja yang terlibat dalam penganiayaan Clief Muntu tersebut diberhentikan dari kampus IPDN. Kita patut sedih karena pemerintah masih saja kecolongan atas tragedi memilukan tersebut. Itu berarti segala perombakan dan pembenahan pada 2003 lalu tak ada artinya. Empat tahun lalu, praja Wahyu Hidayat juga tewas secara menyedihkan di tangan para seniornya. Saat itu dilakukan perombakan besar-besaran, termasuk kurikulum. Bahkan, nama STPDN berubah menjadi IPDN. Tapi, kenyataannya, Clifft menyusul Wahyu Hidayat dengan cara yang sama Jika dilihat penyebab penganiayaan Clieff Muntu sangat sepele sekali, hanya karena kesalahan pada saat latihan membawa bendera pusaka. Memang IPDN dikenal sebagai sekolah semimiliter yang sangat memegang kedisiplinan. Jatuhnya korban menunjukkan bahwa mereka gagal menerjemahkan nilai disiplin itu. Kondisi sekolah telah membawa "disiplin" itu menjadi monster yang bisa membunuh para pelajar sendiri. Disiplin diterjemahkan terlalu sempit dan kaku.
Kekerasan dalam Masyarakat Kita
Kekerasan sudah mengakarabi kehidupan keseharian masyarakat kita. Penyelesaian konflik selalu saja disertai dengan tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan yang kerap terjadi bukan hanya dilakukan oleh individu-individu sebagai anggota masyarakat tetapi juga oleh aparat negara.
Menurut Johan Galtung (2003), kekerasan dibagi menjadi tiga tipologi yaitu kekerasan langsung, kekerasan kultural, dan kekerasan struktural. Kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa (event); kekerasan struktural adalah sebuah proses; sedangkan kekerasan kultural adalah sebuah sesuatu yang bersifat permanen. Ketiga tipologi kekerasan ini memasuki waktu secara berbeda. Sementara Ted Robert Gurr me-ngemukakan teori bahwa kekerasan muncul karena deprivasi relative yang dialami masyarakat maupun individu. Deprivasi relative dimaknai sebagai perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value of expectations) dan kapabilitas nilai (value capabilities).
Apabila pendekatan Galtung maupun Ted Robert Gurr dijadikan pisau analisis, maka kekerasan langsung terjadi pada unsur bangunan pendidikan yakni pelaku utama pendidikan. Kekerasan ini bersifat horisontal, individu vis a vis individu yang lain. Bentuk kekerasan struktural dan kultural terjadi pada unsur selain unsur pelaku utama pendidikan. Kekerasan ini mewujud dalam kerangka pendidikan, pranata pendidikan, dan kurikulum pendidikan. Kekerasan ini bersifat vertikal karena melibatkan negara melalui aparatus, institusi, dan kebijakan vis a vis masyarakat. Akhirnya, Satu demi satu siswa atau mahasiswa direnggut oleh pendidikan yang seharusnya membuatnya menjadi manusia beradab.
Sebagaimana dilansir dari beberapa surat kabar, kasus kematian Eli Daeli (11), siswa kelas V Ciririp Kec. Pongkor Kab. Bandung. Eli meregang nyawa setelah satu hari sebelumnya dihukum fisik oleh Hen, guru bantu di sekolahnya. Ketika diperiksa yang berwajib, Hen mengaku, dirinya memukul Eli menggunakan buku dan penggaris plastik di bagian leher. Hen mengaku kesal karena untuk kesekian kalinya korban terlambat masuk sekolah. Hingga saat ini kasus tersebut masih dalam penanganan Polresta Cimahi.
Terlepas apakah kematian Eli terkait dengan kasus pemukulan tersebut atau tidak, hukuman fisik bagi siswa tidak dibenarkan. Adalah suatu ironi, sekolah yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak justru belum bebas dari potensi kekerasan. Bahkan, menurut Komnas Perlindungan Anak, pelaku kekerasan fisik terhadap anak didominasi guru, sebanyak 42,1%. Keberadaan UU No. 23 / 2002 tentang Per-lindungan Anak seakan tak bisa membuat pelaku jera. Padahal, hukuman kurungan hingga 15 tahun dan denda Rp 300 juta telah menanti pelaku kekerasan terhadap anak. Apakah hukuman ini terlalu ringan? Atau justru tidak diketahui masyarakat? Namun, hati nurani dan kasih sayang tentu jauh lebih efektif untuk mencegah kekerasan dibandingkan hukum tertulis.
Pendidikan Humanis vis a vis Militeristik
Pada era reformasi saat ini perlu direnungkan, apakah kita masih membutuhkan sistem pendidikan semimiliter mendidik peserta didik kita. Memang pada era Orde Baru, model pendidikan ini menjadi idola karena sistem pemererintahan bersifat top down sehingga pendidikan pun harus berkiblat pada pola tersebut. Dalam kasus kekerasan di IPDN bila ditinjau dari sisi ekonomi-sosial, pendekatan pendidikan yang diterapkan disebut pendekatan top down atau dari atas ke bawah dengan karakter dasar mendikte. Pendekatan seperti ini berasumsi bahwa pendidik adalah pusat kebenaran dan pengetahuan, lebih bermoral dan pandai, sehingga tidak dapat dibantah. Sistem pendidikan corak ini memang cocok diperuntukkan dalam sistem pendidikan militer, yang berparadigma disiplin seragam, ketat ideologi, disiplin perintah tanpa boleh banyak bertanya. Metode pendidikan seperti ini juga mirip dengan metode yang dipakai untuk mendidik anjing. Anjing dididik oleh tuannya dengan sistem reward dan punishment agar si anjing menjadi setia dan tunduk pada tuannya. Pendekatan top down, sistem militer, dan metode anjing yang selama ini cenderung dipakai dalam sistem pendidikan kita telah menjadikan lembaga kependidikan lebih dipakai sebagai penghantar kekerasan.
Berbagai tindak kekerasan dalam dunia pendidikan, selalu merujuk pada satu konsep “disiplin” atau mendisiplinkan peserta didik. Tidak bisa dimungkiri, memupuk kedisiplinan seringkali menjadi salah satu tameng bagi guru yang memberikan hukuman fisik untuk muridnya. Padahal, bagi anak bentuk hukuman fisik bisa saja membuat trauma dan berakibat buruk bagi perkembangan mentalnya. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Dr Seto Mulyadi menyatakan bahwa sekitar 80 hingga 90 persen anak-anak di Indonesia masih belum mendapatkan hak pendidikan, karena arti sebenarnya pendidikan itu adalah hak, bukan suatu kewajiban. Sementara, berjuta anak Indonesia yang ke sekolah karena terpaksa, mendapatkan suasana sekolah yang tidak asyik, dan tidak menyenangkan, padahal belajar efektif adalah belajar yang menyenangkan.
Sejatinya, kekerasan guru terhadap siswa sangat berdampak pada perkembangan psikologis anak. Keengganan anak untuk terus belajar mata pembelajaran yang diajarkan oleh seorang guru akan berbuah pada tidak bertambahnya pengetahuan anak terhadap mata pembelajaran tersebut. Selain juga, traumatik berkelanjutan akan tercipta pada jiwa anak. Semestinya pendidikan dibentuk dalam kultur yang humanis sehingga polanya bukan lagi top down, namun juga bottom up. Sikap disiplin tetap penting, bahkan harus lebih ditingkatkan karena itu adalah kunci dari sukses. Tapi, disiplin tidak diterjemahkan sebagai alur top down yang sangat kaku. Pola seperti ini pada gilirannya akan sangat berbahaya bagi peserta didik.
Jika dilihat dari esensi dasar, pendidikan merupakan wahana membentuk jati diri, prilaku dalam koridor kognitif (kecerdasan), afektiv (sikap) dan psikomotorik (prilaku). Selama ini situasi dan kondisi, pengalaman dan daya kembang serta daya serap peserta didik sangat tipis untuk menjadi masukan dan ikut merubah kerangka, kurikulum dan pranata pendidikan. Lingkungan, kurikulum, metode dan kultur budaya merupakan anomali-anomali yang bertalian erat dengan out-come pendidikan itu sendiri. Institusi pendidikan yang dikelola secara humanis, toleran tetapi tidak meninggalkan disiplin akan melahirkan out-put siswa yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan dan tetap mengedepankan kedisiplinan. Lain halnya dengan sistem pendidikan top-down-militeristik pada gilirannya melahirkan out-put siswa stereotif, bringas dan mencari-cari kesempatan.
Belajar dari kasus IPDN, menjadi pemikiran bagi sekolah / institusi pendidikan dengan sistem serupa, untuk mempertimbangkan diterapkan tidaknya sistem tersebut dalam sistem pendidikan. Jika tetap bersikeras menerapkan pola tersebut, semestinya juga harus diimbangi dengan pengawasan (monitoring) yang ketat, evalusi yang berkesinambungan dan penanaman nilai-nilai pendidikan humanis kepada peserta didik setiap saat. Langkah penting sudah seharusnya diambil oleh Dewan Pendidikan Kota maupun Dinas Pendidikan Kota, untuk sesegera mungkin melakukan pengawasan terhadap pelaku pendidikan, khususnya perilaku kekerasan oleh guru di dalam ruang kelas. Kualitas guru serta kapasitas guru, terutama dalam hal metodologi pembelajaran, bukan hanya dibiarkan menjadi statis. Selain juga untuk sesegera mungkin meningkatkan kesejahteraan guru. Walau sebenarnya, guru bukanlah harus menjadi sebuah profesi, namun guru merupakan sebuah ruang pengabdian. Cukuplah kasus kekerasan di IPDN menjadi kejadian pahit terakhir dalam dunia pendidikan, dan kita tidak mau lagi generasi harapan bangsa, satu demi satu tumbang menjadi tumbal pendidikan. []
*) Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

0 Comments: