Monday, May 7, 2007


Sandiwara Politik Non-Realis
Oleh : Agus Wibowo *
Negeri ini tak lebih sebuah panggung sandiwara non-realis. Masing-masing aktor politik berebut peran. Jika dalam sandiwara realis, watak pelaku dalam memperjuangkan kepentingannya digambarkan baik melalui jalan praktis maupun jalan idealistis. Dengan cara itu, ‘daging’ realisme sandiwara bisa dikenali, dirasakan dan dihayati kehadirannya.
Permainan dituntut wajar namun tetap indah, sebagai sarana transformasi estetis jagat realitas ke jagat simbol. Sang aktor konsisten dengan tokoh yang diperankannya. Tetapi dalam sandiwara non-realis ini tidak demikian. Aktor selalu tidak konsisten dengan perannya, maka alur sandiwara-pun runyam dan tak layak dinikmati. Demikian komentar Cak Nun (Emha Ainun Najib) dalam ”pengajian padang rembulan” di Sleman belum lama ini. Pengajian kali ini cukup spesial, karena dihadiri oleh beberapa pejabat tinggi RI, anggota DPR/MPR, dosen dan kaum intelektual.
Cak Nun menggugah kesadaran kita akan in-konsistenya elit politik kita. Bagaimana tidak, ketika kampanye pemilu mereka ikut partai A, tapi manakala yang berpeluang menghantarkan ke jabatan lebih tinggi partai B, ia beralih ke partai tersebut. Dalam sekala kecil, rakyat juga yang dibingungkan oleh prilaku politik tersebut. Sementara dalam lingkup luas, iklim perpolitikan menjadi tidak kondusif, saling curiga dan jauh dari keberpihakan terhadap kepentingan rakyat.
Bergulirnya era reformasi, malah membuat atmosfir politik jauh lebih buruk ketimbang atmosfir elit politik orde baru atau bahkan orde lama. Paling tidak, dilihat dari sisi kekonsistenan idiologi. Misal, meski dalam era reformasi partai Golkar sempat dihujat, tetapi partai ini sangat konsisten terhadap idiologi yang dibangunnya. Kebanyakan parpol lain, selalu oportunis dalam setiap langkah politiknya.
Problem lain seputar wacana reshuffle. Presiden sebagai sutradara pemerintahan, kurang tegas mengambil keputusan (decision maker). Mestinya menteri yang sedang ”sakit”, berkinerja buruk atau tidak profesional segera diberhentikan. Senyatanya, presiden SBY tidak berani melakukan itu. Jika melihat kehati-hatian presiden SBY selama ini, dan kecenderungan untuk menghindari gesekan dengan parpol besar, dimungkinkan reshuffle untuk beberapa menteri hanya sekedar rotasi posisi saja.
Drama sesungguhnya mesti membuat oposisi (polar opposite). Mana tokoh dengan karakter baik (best profil) dan tokoh karakter jahat (antagonis). Tetapi dalam republik sandiwara ini, sulit membedakan polarisasi tersebut. Semua mengaku tokoh jalan kebenaran, membela rakyat kecil dan menjunjung tinggi darma kesatria. Tetapi, tak dinyana prilaku yang tampak, tak lebih karakter raksasa atau ”sang cakil”—yang menebar kehancuran dalam kehidupan berbangsa. Atau dalam pewayangan, identik dengan tokoh Sangkuni yang selalu oportunis, labil pendirian dan jauh dari watak kesatria.
Meminjam istilah Ichlasul Amal (pakar politik UGM), para elite politik dan pemimpin negeri ini selalu kita jumpai layaknya wajah-wajah syaitan yang berhati iblis, dan wajah malaikat yang berhati syaitan. Sehingga sulit untuk membedakan khutbah yang disuarakan oleh wajah yang bermacam-macam itu.
Sejatinnya melalui suara hati, kita menyadari kewajiban melakukan yang baik dan benar, serta menolak yang tidak baik dan tidak benar. Suara hati bagai panggilan suatu realitas personal yang berkuasa atas diri kita yang, jika kita mengikutinya, membuat kita merasa bernilai, aman, dan sedia untuk menyerah (Magnis-Suseno, 2006).
Seseorang yang bersuara hati, akan malu jika melakukan perbuatan tak bermoral dan malu jika membiarkan ada perbuatan tak bermoral di sekitarnya. Tentu bisa saja dibalik, orang yang suka perbuatan tak bermoral berarti tak bersuara hati. Atau, orang yang membiarkan perbuatan tak bermoral berlangsung di sekitarnya berarti tak bersuara hati.
Bagaimana jika dikaitkan dengan elit politik kita? Sudah pasti definisi terakhir sangat representatif. Layaknya aktor, ia menyimpang jauh dari alur sekenario sang sutradara. Dan sebagai manusia lumrah, hati mereka telah menjadi pisau tumpul yang jarang digunakan atau enggan diasah.
Sandiwara realis mesti berakhir (ending). Tokoh kebenaran mengembalikan kondisi dis-harmoni atau goro-goro pada posisi semula. Masing-masing pihak berada dalam posisinya, menyadari kekeliruannya dan sang tokoh hidup bahagia menjalani masa tuanya dengan kebahagiaan. Tidak demikian dengan sandiwara republik ini, sang satria kebenaran tidak ada. Semasa berjuang mencitrakan pembela rakyat jelata, tetapi manakala mendapat kamukten malah menjadi penindas rakyatnya. Sulit dipercaya apakah tokoh-tokoh pejuang HAM atau pejuang reformasi yang telah gugur, jika dihidupkan kembali benar-benar konsisten pada idiologinya. Tata nilai dan kultur budaya tak memungkinkan hal itu.
Bangsa ini butuh sutradara politik yang tangguh, mumpuni dan digdaya. Sutradara yang mampu mengatur dan mengendalikan aktor-aktornya, dalam posisi dan pencitraan perannya masing-masing. Sutradara demikian, sangat selektif mencari bibit-bibit aktor yang sehaluan dengan jalan pemikirannya, mampu membawa sandiwara politiknya bermutu, enjoy dinikmati dan ada nilai simbolis yang patut diteladani.
Tak ubahnya negara ini, butuh presiden yang berjiwa seniman sutradara. Santun dalam membagi peran, lincah dalam memenggal alur dan paham karakteristik asli aktor-aktornya. Jika sudah demikian, sang presiden bakal membawa negara ini pada figur negara teladan yang menjadi kiblat dunia.[] *) Peneliti pada Lembaga Kajian Politik dan Pendidikan (LKPP) Universitas Negeri Yogyakarta.

0 Comments: