Saturday, May 5, 2007

Langkah Politik Sultan dan Masa Depan
Oleh Agus Wibowo, Suara Karya,Jumat, 27 April 2007
Bumi Mataram belum lama ini diguncang oleh sabda Sultan Hamengku Buwono (HB) X lewat tulisannya "Berbakti Pada Ibu Pertiwi". Di situ Sultan mengungkapkan ketidakbersediaannya dicalonkan kembali menjadi gubernur DIY 2009 mendatang. Rakyat Yogya pun bertanya-tanya, apa maksud sabda Ngarso Dalem tersebut.
Guna mengklarifikasi sabda Sultan tersebut, rakyat kemudian berinisiatif menggelar pisowanan agung yang dilaksanakan Rabu (18/4). Tak tanggung-tanggung, acara ini dihadiri lebih dari 40.000 warga. Kali ini Sultan tidak lagi duduk di singgasana, tetapi lesehan sama rendah dengan rakyat. Sikap mau berbaur dengan rakyat ini menunjukkan situasi kedekatan Sultan dengan rakyat. Konsep pisowanan agung-pun bukan lagi bermakna ngabekten, melainkan dialog antara raja dan rakyatnya.
Hebatnya reaksi masyarakat terhadap sabda Sultan menggambarkan satu hal sangat penting, yaitu kedekatan ikatan emosional antara rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Sri Sultan. Masyarakat memang memiliki ikatan sosio-kultural-emosional yang sangat kuat dengan institusi kesultanan dan pribadi sultan, baik Sultan HB IX maupun Sultan HB X.
Pernyataan Sultan HB X untuk tidak lagi bersedia menjadi pemimpin formal pemerintahan menimbulkan ketakutan dan kegamangan masyarakat menghadapi masa depan. Masih banyak rakyat dan pejabat yang menghendaki Sri Sultan HB X tetap menjadi gubernur.
Menurut J Kristiadi (2007) kegiatan pisowanan agung secara historis berangkat dari tradisi yang ada sejak zaman Kerajaan Mataram. Kemudian dilestarikan oleh pemerintahan Sultan Hamengku Buwono (HB) I. Meskipun demikian pisowanan agung kali ini bermakna lain.
Dari aspek kultural, pisowanan agung merupakan wujud loyalitas rakyat kepada sultannya yang diharapkan bertindak sebagai pengayom. Dari aspek politik, sejatinya pisowanan agung merupakan instrumen politik untuk mengetes potensi kekuatan untuk menjadi tokoh nasional, apakah masih ada loyalitas dari rakyat (testing the water).
Kuatnya sentimen lokal masyarakat Ngayogyakarta (dan suku Jawa pada umumnya) sangat bersinggungan dengan dimensi leadership Sri Sultan HB X. Jika dilihat dari tipologi kepemimpinan Max Weber, tipe kepemimpinan Sultan adalah kharismatik tradisional. Yaitu pengakuan masyarakat bahwa Sultan dengan segala atributnya adalah penguasa Kerajaan Mataram.
Dalam pisowanan agung tersebut Sultan menunjukkan komitmennya untuk membawa ruh pluralitas dari Yogyakarta untuk mewarnai Indonesia. Sejauh ini masalah penerimaan terhadap kemajemukan menjadi akar masalah yang mempersulit bangsa untuk bangkit dari keterpurukan.
Tetapi, di sisi lain, masyarakat DIY di bawah kepemimpinan Sultan mampu menunjukkan sustainabilitas untuk hidup rukun dalam kemajemukan agama, suku, dan etnis. Pada salah satu surat kabar nasional, Sultan mengungkapkan kesediaan dicalonkan menjadi presiden, demi mengabdi kepada rakyat dalam konteks yang lebih luas.
Tekad Sultan HB X untuk maju ke pentas nasional sebenarnya sudah dimulai ketika ikut dalam konvensi calon presiden Partai Golkar tahun 2004. Sultan maju dalam konvensi itu, karena pada awalnya didukung 16 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar se-Indonesia. Tetapi, dalam perkembangan konvensi, dia hanya didukung tujuh DPD.
Naiknya Sultan ke pentas pemilihan presiden (Pilpres) 2009 memang sebuah keharusan. Namun, semua itu tergantung apakah Golkar bersedia menjadi kendaraan politik Sultan. Meski saat ini Sultan menjadi penasihat Partai Golkar, namun Sultan akan sulit untuk maju sebagai calon presiden bersama partai berlambang beringin ini.
Rakyat Indonesia kini sudah sangat cerdas memilih sosok pemimpin untuk negaranya. Kita dapat belajar dari suksesnya SBY duduk di kursi presiden. Waktu itu, dirinya hanya dicalonkan oleh beberapa partai kecil (gurem).
Tetapi, sistem pemilihan presiden secara langsung memberikan keuntungan bagi SBY. Rakyat yang sebelumnya telah jatuh hati kepada sosok SBY yang elegan, tampan dan karismatik, langsung menjatuhkan pilihan untuk SBY. Selain itu, sistem pilpres secara langsung memberi kesempatan rakyat untuk tidak berkiblat pada partai yang diikutinya.
Demikian halnya dengan figur Sultan, momentum pisowanan agung yang diliput berbagai media menjadi semacam kampanye pendahuluan bagi Sultan untuk meraih simpati rakyat. Lebih-lebih para mahasiswa yang pernah hidup di Yogya, secara tidak langsung menjadi juru kampanye (jurkam) Sultan di daerah masing-masing. Pelan tapi pasti, kendaraan politik Sultan bakal menghantarkannya ke kursi presiden.
Sejatinya, rakyat kita masih terbiasa dengan figur kepemimpinan karismatik tradisionalistik. Hal ini tidak lepas dari akar historisitas kepemimpinan kita yang selalu merujuk pada sebuah kerajaan. Hadirnya alam demokrasi yang sudah berjalan beberapa dasawarsa belum mampu memberi makna lain pada sosok kepemimpinan.
Sultan memiliki kriteria tersebut. Penerimaan Sultan atas rakyatnya dalam pisowanan agung selain menimbulkan rasa haru, juga dirasakan sebagai tetesan embun di tengah dahaga rakyat yang haus teladan pemimpinnya. Di tengah atmosfer politik yang penuh hawa nafsu berburu kekuasaan, kepalsuan, kemunafikan, sikap oportunistik dan sikap menghalalkan cara, Sultan HB X menunjukkan kepemimpinan dan keteladanan untuk menolak memegang kekuasaan politik lagi. Itu merupakan sikap yang menunjukkan konsistensi dan keberpihakan keraton pada kepentingan rakyat.
Figur kepemimpinan Sultan HB X sudah semestinya ditangkap secara arif oleh DPP Golkar guna kendaraan politik pada Pemilu dan Pilpres 2009. Jika terlambat, bukan tidak mungkin Sultan dirangkul oleh partai lain. Jika demikian, Golkar akan kehilangan salah satu kader ideal dan aset besar partai ini.***
*)Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

0 Comments: