Wednesday, April 18, 2007


Gerakan Gender dalam Terali Budaya Pop
Oleh : Agus Wibowo*
"Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman yang luas sekelilingnya tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah yang menjadi penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu, bila senantiasa harus tinggal di sana sesak juga rasanya. Teringat betapa aku oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga, lalu menghempaskan badanku berulang-ulang kepada pintu yang senantiasa tertutup itu dan kepada dinding batu bengis itu. Arah ke mana juga aku pergi, setiap kali putus juga jalanku oleh tembok batu dan pintu terkunci." (Armin Pane, 1982).
Saat membaca salah satu surat Raden Ajeng (R.A) Kartini kepada sahabatnya di Belanda, kita bisa merasakan penderitaan yang dialaminya dalam penjara kultural konstruk budaya feodal saat itu. Kita pun secara refleks akan terbayang nasib bangsa Kartini lain yang juga tak kurang menderitanya saai ini. Sebagian bahkan harus mati dalam tembok penjara itu, meski dalam bentuknya yang lain. Marsinah, Sulastri, Lisa, atau para tenaga kerja wanita (TKW) kita, merupakan bangsa Kartini yang kurang beruntung dan bahkan harus pulang setelah menjadi mayat. Di samping perkosaan terhadap anak di bawah umur oleh ayah kandung, ayah tiri, paman, kakek atau orang terdekat sikorban, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), setiap hari menghiasi media cetak dan elektronik kita.
Perjuangan Gender Jalan di Tempat
Saat ini meski sudah setengah abad lebih didengungkan ide kesetaraan gender, tetapi perjuangan kesetaraan gender bisa dibilang gender deadlock atau dalam istilah pesantren “mabni”, berhenti dan statis. Memang budaya “pingitan”—istilah untuk wanita yang dikurung selama menunggu masa perkawinan— maupun kawin paksa telah jauh berlalu, tetapi penindasan gender dalam bentuk baru semakin menyeruak dan menunjukkan kuku-kukunya. Pembagian peran dalam masyarakat masih membatasi perempuan dalam tugas domestik (inner house) dan laki-laki di luar rumah (outer house). Pada gilirannya, perempuan semakin jauh dari informasi dan peluang untuk tertinggal, tersisih dari posisi mentereng di bidang publik, bidang pendidikan, eksekutif, legislatif, yudikatif dll.
Sejatinya, pemerintah Indonesia telah mengadopsi berbagai konvensi dunia dan berusaha menerapkan nilai-nilai budaya yang lebih manusiawi, menekankan kesetaraan dan keadilan gender. Tetapi kenyataanya, berbagai konvensi gender tersebut belum mampu dipahami sepenuhnya oleh para pemimpin kita. Budaya patriaki yang masih berurat akar dalam kehidupan bangsa dengan posisi superior kaum Adam, berkuasa, mendominasi seluruh ranah kehidupan sosial, politik dan agama. Kaum Adam masih senang melihat kaum hawa sebagai makluk yang tunduk, pasrah, dan tertindas aspek fisik maupun mental spiritual. Paradigma semacam ini sejatinya merupakan simbol langgengnya penindasan gender saat ini.
Ironisnya, merebaknya budaya pop menghipnotis sebagian kaum hawa sehingga tanpa sadar, mereka rela tetap ditindas jati dirinya. Tak ada definisi pasti mengenai budaya pop selain konsep peniruan / duplikasi, ekploitasi, cenderung instant dan diproduksi secara massal (Andy Warhol, 1960). Budaya pop memandang bahwa secara kodrati kaum Adam —yang merupakan kaum superitas—gandurung pada aspek seksualitas kaum hawa. Maka tak heran jika budaya pop-pun mengekploitasi semua yang ada pada diri kaum hawa, semata-mata demi kepuasan seksual kaum Adam. Pada akhirnya, berbagai kemolekan tubuh dan indahnya organ-organ biologis kaum hawa dipertontonkan demi sebuah iklan produk kosmetik, peralatan rumah tangga, obat kuat, bahkan alat-alat kontrasepsi. Kecenderungan lain dari budaya pop adalah “habis manis sepah dibuang,” artinya setelah selera pasar mulai jenuh dengan salah satu produk maka segera ditinggalkan begitu saja. Jika demikian halnya, bagaimana jadinya nasib kaum hawa setelah orientasi pasar massal telah jenuh dengan kemolekan dan keindahan tubuh mereka ? apa lagi yang bisa diekploitasi selain harga diri ?
Pendidikan dan Pebasan Gender Menurut Kartini
Tokoh Kartini yang dilahirkan pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, sebenarnya telah memulai rekonstruksi budaya dominasi kaum Adam meski dalam konteks zamannya. Perjuangan penegakan emansipasi wanita yang dilakukannya, tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang. Pada masa Kartini, budaya feodal sangat menindas bahkan meminggirkan kaum wanita. Mereka tidak memperoleh kebebasan layaknya kaum pria dalam berbagai hal. Jangankan untuk mendapatkan pendidikan tinggi seperti sekarang, untuk memilih jodoh atau pasangan hidup pun mereka tidak bisa menentukan sendiri, segalanya ditentukan oleh orang tua mereka.
Istilah Gender saat itu mungkin belum dikenal oleh Kartini, karena pendidikan formal yang ditempuhnya hanya sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya. Pengetahuannya tentang gerakan gender, lebih banyak didapat dari pergaulannya dengan orang-orang terpelajar. Dia mempunyai banyak teman, baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari Belanda, yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kartini sering mencurahkan isi hatinya untuk memajukan wanita negerinya, kepada teman-teman Belandanya. Kartini juga gemar membaca buku, khususnya buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli "Max Havelaar" dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa. Kartini mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama wanita Eropa. Sejak saat itulah, Kartini memulai keinginannya untuk memajukan kaumnya.
Belajar dari Kartini, ada beberapa wujud ide serta langkah-langkah Kartini guna memajukan kaumnya diantaranya; pertama, rekostruksi gender melalui jalur pendidikan. Kartini melihat bahwa pendidikan sebagai jalan utama untuk menanamkan kesadaran akan eksistensi diri kaumnya. Pendidikan memang bukan jaminan menjadi kaya, tetapi menjadi pintu melihat dunia, memperluas cakrawala berpikir dan berjaringan dengan dunia lain, serta pendidikan merupakan proses yang senantiasa dilalui manusia (Freire, 2003). Jika mengacu pada pandangan Freire tersebut, pendidikan memang tepat digunakan sebagai media pembebasan dengan menggarap realitas serta jati diri manusia secara metodologis bertumpu pada prinsip aksi dan refleksi. Prinsip ini merupakan kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat. Rekostruksi budaya melalui pendidikan yang dilakukan Kartini ini membuahkan hasil yang gemilang.
Kedua, membekali kompetensi hidup (life skill) dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Kartini juga mengajarkan berbagai macam keterampilan untuk hidup lain yang sangat dibutuhkan kaumnya saat itu. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma. Ketiga, mencari beasiswa untuk meningkatkan kemampuannya maupun kaum se-bangsanya. Demi melaksanakan cita-cita mulianya itu, Kartini berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai lantaran larangan orang tuanya. Pada akhirnya Kartini tidak jadi menggunakan beasiswa dari pemerintah Belanda, tetapi ia meminta kepada pemerintah Belanda untuk memberikan beasiswa tersebut kepada Agus Salim (KH. Agus Salim).
Pernikahan bagi Kartini bukan sebuah penghalang untuk memajukan kaumnya. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.
Rekonstruksi budaya yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya bagi kebangkitan bangsa ini. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya usianya panjang. Ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya.
Kewajiban bagi generasi muda saat ini, guna meneruskan perjuangan Kartini, tidak hanya terbatas pada kaum wanita saja. Kekaguman kepada Kartini, sejatinya tidak perlu diwujudkan dengan jalan memitoskannya sebagaimana ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam kata pengantar buku Panggil Aku Kartini Saja ; "Sampai sedemikian jauh, Kartini disebut-sebut di berbagai peringatan lebih banyak sebagai tokoh mitos, bukan sebagai manusia biasa, yang sudah tentu mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri serta menempatkannya dalam dunia dewa-dewa.” Sejatinya, semakin kurang pengetahuan orang tentangnya, semakin kuat kedudukannya sebagai tokoh mitos. Gambaran orang tentangnya dengan sendirinya lantas menjadi palsu, karena kebenaran tidak dibutuhkan, orang hanya menikmati candu mitos. Padahal, Kartini sebenarnya jauh lebih agung melebihi mitos-mitos tentangnya.[]
*) Penulis Pemerhati Gender, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Alamat Penulis : agus82wb@yahoo.com dan agus1982wb@yahoo.co.id

0 Comments: